Pagi hari di Keraton Kanoman. Seekor kerbau besar telah dipotong dini hari tadi. Alun-alun kraton sebagian besar sudah dipadati pedagang. Padahal di tengah alun-alun inilah, sang kepala kerbau akan dikubur. Meskipun padat oleh masyarakat yang ingin melihat dari dekat prosesi ini, namun tak mengurangi rasa hikmat Panca Pitu, sebutan bagi para abdi dalem ini.
Kepala kerbau yang terbungkus kain putih, dibacakan doa memohon restu Ilahi agar perhelatan akbar yang akan dilangsungkan di keraton ini berjalan baik. Para wanita bangsawan Keraton Kanoman juga masih sibuk dengan kegiatan membuat boreh, yakni semacam rempah-rempah yang terbuat dari kayu cendana, garu, dan kayu-kayu wangi lainnya.
Boreh biasanya digunakan untuk bayi, atau wanita yang baru melahirkan, sebagai penghangat badan. Penggunaan boreh dalam acara ini, berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Setelah siap, boreh-boreh ini diletakkan dalam cangkir kecil. Jumlahnya hingga 40 cangkir. Banyak pengunjung yang meminta boreh ini setelah acara usai, karena mereka percaya boreh dalam perhelatan ini bukan sekedar boreh biasa.
Ini memang bukan sembarang boreh. Karena tidak sembarang orang bisa membuatnya. Selain perlu ketekunan, juga ada kriteria khusus. Sejak tradisi ini berlangsung, ketentuan itu belum pernah dilanggar. Itulah tampaknya yang membuat boreh punya khasiat istimewa.
Selepas tengah hari, abdi dalem mengeluarkan barang-barang pusaka peninggalan pendiri Keraton Kanoman. Diantaranya ada piring besar dengan hiasan berukir, berdiameter 50 centimeter.
Biasa disebut dengan The Ceramic of Empire. Selain itu terdapat beberapa bejana dari Persia dan Cina, juga tongkat dari perunggu yang konon berisi kulit naga yang pernah mengabdikan diri pada penguasa Keraton Kanoman.
Berbagai barang pusaka ini dicuci para wanita bangsawan Keraton Kanoman. Sambil mencuci, dalam hati mereka membaca shalawat, untuk memanjatkan pujian kepada Yang Maha Kuasa.
Prosesi pembersihan barang pusaka ini hanya dilakukan setahun sekali. Dengan sikap penuh hormat dan hati-hati, benda-benda pusaka ini disimpan kembali oleh para abdi dalem. Siap diarak dalam kirab Panjang Jimat nanti.
Uang Dalam Daun Pisang
Kharisma Kesultanan Keraton Kanoman, juga legenda kedigdayaan pendiri keraton ini, memunculkan banyak cerita akan adanya kekuatan supranatural di lingkungan keraton. Hingga kini masih ada masyarakat yang berharap akan mendapat limpahan berkah saat menghadiri acara-acara yang digelar pihak keraton.
Padahal, tujuan pihak kraton mengadakan sejumlah acara itu sebenarnya lebih untuk melestarikan tradisi yang ada, agar budaya Cirebon tidak punah begitu saja.
Meskipun persepsi masyarakat di luar lingkungan keraton berbeda dengan tujuan semula dari penyelenggaraan perhelatan ini, namun pihak keraton tidak melakukan pelarangan secara tegas. Karena mereka menghormati apa yang telah dipercayai oleh masyarakat awam secara turun temurun. Namun untuk ke depan, pihak keraton berharap persepsi itu akan berubah.
Di beranda Gedong Dalem yang menjadi kediaman Sultan Kanoman, para perempuan bangsawan keraton mengemas keping-keping uang logam untuk dimasukkan ke dalam daun pisang. Kegiatan ini disebut mungkus salawat.
Uang ini berasal dari donatur yang bersimpati pada Keraton Kanoman. Nantinya, uang yang terbungkus daun pisang ini akan dibagi-bagikan.
Ketika pagi tiba, mendekati puncak peringatan Maulid Nabi, kesibukan semakin meningkat. Begitu pula dengan masyarakat yang berdatangan dari berbagai tempat di sekitar Cirebon, maupun daerah lain yang pernah masuk dalam wilayah Kesultanan Cirebon.
Semua memenuhi berbagai sudut Keraton Kanoman. Petang menjelang puncak acara Panjang Jimat, Pangeran Patih, Pangeran Raja Muhammad Qodiran, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan seluruh rangkaian acara ini memimpin arak-arakan menuju Masjid Agung Keraton.
Para pengawal keraton, atau magersari mengawal dengan membawa tombak iring-iringan yang membawa aneka benda pusaka. Simbol Keraton Kanoman, bendera Macan Ali, yang berisi kalimat dengan arti Tiada Tuhan Selain Allah, mengawali iring-iringan ini. Busana warna kuning yang dipakai para abdi dalem, bermakna Ar-Rahhim, atau Maha Penyayang.
Akhirnya Panjang Jimat
Menjelang malam, suasana di Keraton Kanoman semakin semarak. Para undangan dan keluarga keraton mulai berdatangan untuk menghadiri puncak acara yang hanya berlangsung satu tahun sekali ini.
Sebelum puncak acara dimulai, di Bangsal Jinem yang merupakan salah satu ruang utama di Keraton Kanoman, Pangeran Patih meminta restu dari Sultan Kanoman ke-12 yang juga adalah kakak kandungnya. Dalam prosesi ini, Pangeran Patih mewakili sultan. Selama prosesi berlangsung, Pangeran Patih tidak diperbolehkan untuk berbicara sepatah kata.
Sementara di langgar keraton, penghulu dan abdi dalem lainnya bersiap-siap menuju Masjid Agung Keraton. Tepat pukul 9 malam, seorang anggota keluarga keraton membunyikan lonceng Gajah Mungkur, tanda acara Panjang Jimat dimulai. Seiring lafadz doa yang diucapkan para peserta kirab Panjang Jimat, rombongan yang mengusung aneka pusaka keraton ini menuju Masjid Agung Keraton Kanoman.
Kirab atau iring-iringan Panjang Jimat ini adalah sebuah ilustrasi mengenai kelahiran Nabi Muhammad SAW. Masing-masing barisan ini punya makna tersendiri. Namun kesemuanya bermuara pada perlambang kelahiran seorang manusia.
Didalam Masjid Agung Keraton yang dibangun pada sekitar tahun 1679, Pangeran Patih dan seluruh peserta kirab Panjang Jimat mendengarkan tarikh, atau riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang dibaca penghulu keraton.
Hal ini bertujuan agar mereka yang mendengarkan dapat menyerap kebajikan seperti yang pernah diperbuat oleh Nabi Muhammad SAW. Puncak acara berakhir menjelang tengah malam.
Keping-keping uang logam yang terbungkus daun pisang, diperebutkan oleh masyarakat yang berada di muka Masjid Agung. Mereka percaya koin yang telah diberi doa-doa itu akan membawa keberuntungan.
Sementara berbagai sesaji dibagikan untuk Sultan Kanoman dan keluarganya, serta kerabat keraton. Sisanya diberikan kepada para abdi dalem dan masyarakat luas.
Hari berganti, pusaka telah tersimpan rapi. Pangeran Patih menutup seluruh prosesi ini. Inilah buang takhir. Dengan diiringi para abdi dalem dan pembesar keraton, di Bangsal Paseban, bersama mereka mengucap doa syukur atas usainya perhelatan akbar.
Nasi jimat pun dibagikan kepada warga yang telah menanti. Hingga kini masih banyak yang mempercayai adanya sugesti yang timbul setelah menyantap nasi jimat ini.
Seiring dengan itu, gamelan sekaten berhenti dimainkan. Perangkat musik bersejarah ini dikemas untuk disimpan kembali ke tempatnya. Suasana semarak saat perhelatan itu telah berlalu, seperti kejayaan yang pernah dimilikinya. Namun toh, kepercayaan akan berkah kraton, tak sirna hingga kini.
Pembacaan Babad Cirebon
Pada 1 Muharam 1431 H atau 18 Desember 2009, saya diundang menghadiri acara pembacaan babad Cirebon di keraton Kanoman. Keraton Kanoman terletak agak tersembunyi, tertutup pasar yang memang berada persis di depan Keraton. Kanoman sendiri didirikan pada tahun 1588. Hal ini tercatat pada prasasti di pintu Pendopo Jinem. Pendiri Kanoman adalah Sultan Badridin atau biasa disebut Sultan Kanoman I. Badridin adalah turunan ke VII dari Sunan Gunung Jati atau Syarief Hidayatullah.
Acara Pembacaan babad yang dikaitkan dengan acara ulang tahun kota Cirebon yang ke 640 ini dihadiri antara lain oleh Walikota Cirebon Subardi S.Pd, Ketua DPRD Cirebon dan sejumlah petinggi kota Cirebon. Sri Sultan dan para tamu penting duduk di Witana, tempat pembacaan Babad Cirebon. Witana berasal dari kata awit dan ana yang berarti yang pertama ada. Disebut demikian karena Witana adalah bangunan pertama yang didirikan di kota Cirebon.
Acara dibuka oleh Sultan Kanoman XII, yaitu Sultan Raja Moch.Emirudin. Sultan yang konon mengidap sakit polio sejak kecil ini memberi sambutan amat pendek. Sesudahnya Walikota juga memberikan sambutannya. Selanjutnya pembacaan babad Cirebon dilakukan oleh Pangeran Kumisi Kesultanan Kanoman diiringi Panca Pitu (tujuh pengiring berjubah dan bersorban) dan sepuluh pria berpakaian gelap dan berblankon. Adapun babad Cirebon dibacakan dalam bahasa Cirebonan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar