Sultan Kanoman Cirebon Ke-12

Pangeran Patih Keraton Kanoman Cirebon

Jumat, 02 Juli 2010

KERAJAAN CIREBON


Pemilihan Steward Wikimedia Foundation 2010 telah dimulai. Berikan suara
[Sembunyikan]
[Bantulah kami menerjemahkan!]

Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan SundA


Sejarah

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Perkembangan awal

Ki Gedeng Tapa

Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

Ki Gedeng Alang-Alang

Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)

Pangeran Cakrabuana (…. –1479)

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.

Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.

Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

Sunan Gunung Jati (1479-1568)

Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.

Fatahillah (1568-1570)

Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

Panembahan Ratu I (1570-1649)

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

Panembahan Ratu II (1649-1677)

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.

Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram (Islam). Makamnya di Jogjakarta, di bukit Giriloyo, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Giriloyo, tinggi makam Panembahan Giriloyo adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

Terpecahnya Kesultanan Cirebon

Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.

Perpecahan I (1677)

Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:

  • Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
  • Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
  • Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

Perpecahan II (1807)

Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.

Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

Masa kolonial dan kemerdekaan

Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.

Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.

Perkembangan terakhir

Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).

Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.

BEGITU menginjakkan kaki di depan gerbang keraton, yang tampak adalah sebuah pendopo dikelilingi tembok yang cat putihnya tampak tak terawat. Bahkan salah satu sisi gapuranya hanya menunjukkan bekas porselen dari Tiongkok yang pernah ditanamkan di tembok. Sayangnya lagi, dindingnya 'dihiasi' coretan dari oknum yang tidak bertanggungjawab. Rerumputan tumbuh meninggi di beberapa sudut halaman.

Itulah sebagian gambaran terkini dari Keraton Kanoman yang ada di kota Cirebon. Kondisi kurang bagus itu juga diperparah dengan lokasinya yang berada di balik keramaian Pasar Kanoman. Untuk menuju ke keraton, mobil maupun becak harus menerobos kerumunan para pedagang.

Tak terbayangkan bahwa tempat itu menyimpan sejarah panjang tentang kepahlawanan, juga syiar Islam, jika tidak menatap dengan baik-baik bangunan utama. Memang tidak sebesar bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta atau Surakarta, namun masih memancarkan kharisma tersendiri.

Rasa penasaran menggiring langkah merambahi halamannya yang teduh. Jika diamati dengan teliti, memang tampak keistimewaan bangunan pagar maupun pintu gerbangnya. Pagar tembok maupun gerbang itu berhiaskan piring-piring porselen yang cantik.

Beruntung sekali saat mengunjungi Keraton itu, Warta Kota bertemu dengan putra kelima dari almarhum Sultan Kanoman XI, yaitu Pangeran Raja Mohamad Qodiran yang menjabat sebagai Pangeran Patih Kanoman.

Menurut Mohamad Qodiran, awalnya Kesultanan Kanoman merupakan bagian dari Kesultanan Cirebon. Namun Sultan Banten Ki Ageung Tirtayasa kemudian menobatkan dua orang pangeran dari Putra Panembahan Adining Kusuma (Kerajaan Mataram) untuk memegang kekuasaan di dua kesultanan. Keduanya yaitu Pangeran Badriddin Kartawijaya di Kesultanan Kanoman bergelar Sultan Anom dan Pangeran Syamsuddin Martawijaya di Kesultanan Kesepuhan bergelar Sultan Sepuh.

Kesultanan Kanoman diresmikan tahun 1677 Masehi. "Di antara keraton-keraton lain yang ada di Cirebon, Keraton Kanoman yang menjadi pusatnya peradaban Kesultanan Cirebon," tuturnya.

Keraton Kanoman juga dikenal taat dan konservatif dalam memegang adat istiadat dan pepakem. Contohnya tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul Fitri, Keraton Kanoman masih menyelenggarakannya. Dalam acara yang intinya ziarah sultan dan keluarganya ke Makam Sinuhun Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara, Keraton Kanoman memegang adat dengan penuh ketaatan.

Koleksi Museum

Daya tarik utama Keraton Kanoman baru bisa dinikmati ketika memasuki museum yang terletak di sisi kanan bangunan utama. Di bangunan yang tidak terlalu besar itu tersimpan peninggalan-peninggalan keraton, mulai dari kereta kerajaan, peralatan rumah tangga, hingga senjata kerajaan.

Menurut pengamatan Warta Kota, perawatan benda-benda tersebut kurang maksimal. Benda koleksi museum berdebu dan lembab. Bahkan gedung museum sepertinya nyaris roboh dan di plafonnya banyak jejak-jejak air akibat bocor.

"Memang kami kekurangan dana dan tenaga untuk mengelola tempat ini. Tidak mungkin hanya mengandalkan dana dari pemerintah. Sebagai penerusnya, tentu kami berusaha untuk menjaganya," ujar Qodiran.

Beberapa koleksi tampak tidak utuh. Salah satu yang menyita perhatian adalah jajaran kereta. Paling menonjol adalah kereta Paksi Naga Liman. Kereta itu, seperti tertera dalam keterangan yang ada, dibuat dari kayu sawo pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi oleh Pangeran Losari. Kereta itu merupakan kereta kebesaran Sunan Gunung Jati, leluhur Kesultanan Cirebon, yang memerintah tahun 1479-1568.

Pemberian nama itu berkaitan dengan pahatan kayu di bagian depan yang menggambarkan gabungan bentuk paksi (burung), naga, dan liman (gajah) memegang senjata. Paduan bentuk itu melambangkan persatuan tiga unsur kekuatan di darat, laut, udara, menyimbolkan keutuhan wilayah.

Keistimewaannya terletak pada bagian sayap patung yang bisa membuka-menutup saat sedang berjalan, juga bentuk rodanya yang berbeda dengan roda pedati biasa. Roda kereta dibuat cekung ke dalam. Konstruksi roda seperti itu sangat berguna jika melewati jalanan berlumpur yang basah. Kotoran tidak akan menciprat mengotori penumpangnya.

Kereta yang lain adalah Jempana, kereta kebesaran untuk permaisuri dengan hiasan bermotif batik Cirebon. Kereta berbahan kayu sawo itu juga dirancang dan dibuat atas arahan Pangeran Losari pada tahun yang sama.

Kereta-kereta itu menempati bagian tengah ruangan. Adapun bagian pinggir museum dipenuhi koleksi yang lain. Di antaranya koleksi wayang golek papak, kursi pengantin, gamelan, meja tulis lengkap dengan perlengkapan menulis daun lontar dan ijuk aren yang berfungsi sebagai alat menulis, kotak-kotak termasuk kotak dari Mesir. Di salah satu sudut, bisa dilihat koleksi senjata, mulai dari aneka pedang lokal dan pedang Eropa, keris, senjata api, aneka perisai, dan meriam.

Ada pula singgasana Sri Sultan yang terbuat dari gading, berusia lebih dari 700 tahun. Kursi ini dipakai pada awal pemerintahan Kesultanan Cirebon hingga periode Sri Sultan Kanoman Ke VIII. Karena kondisi kursi yang tidak memungkinkan lagi untuk diduduki, maka mulai Sri Sultan Kanoman IX hingga kini kursi tersebut dimuseumkan.

Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan nama Syarif Hidayatullah.

Kesultanan Keraton Kanoman Gelar Gerebeg Syawal


Setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh kemudian disempurnakan dengan puasa sunnah di bulan Syawal selama tujuh hari, keluarga besar Keraton Kanoman Cirebon mempunyai agenda rutin tahunan berziarah ke makam Sunan Gunung Jati yang dikenal dengan sebutan Gerebeg Syawal.

Dalam pelaksanaannya, ritual tahunan ini selalu melibatkan ribuan masyarakat dari berbagai daerah yang ingin turut serta berziarah, mendoakan sambil mengenang kebesaran Sunan Gunung jati yang telah berjasa menyebarkan agama Islam di Nusantara atau bahkan mengharapkan berkahnya.Seperti tahun-tahun sebelumnya keluarga besar kesultanan keraton Kanoman menjalankan ritual Grebeg Syawal diiringi ribuan masyarakat dari berbagai daerah yang mengharapkan berkah di Komplek Makam Sunan Gunung Jati di Astana Gunung Sembung, tepatnya di Desa Astana, Kecamatan Gunung jati, Kabupaten Cirebon, Jabar.

Ritual diawali dengan kedatangan Sultan Kanoman XII Sultan Raja Muhammad Emirudin beserta kerabat di kompleks makam sekitar pkl. 06.30 WIB. Kehadiran keluarga besar keraton ini pun disambut oleh ribuan masyarakat yang sudah berada di tempat tersebut sejak satu hari sebelumnya.

Rombongan Keluarga Keraton kemudian berjalan melewati sembilan pintu menuju makam Sunan Gunung Jati yang hanya dibuka pada saat-saat tertentu saja dan atas seijin sultan.

Tujuh pintu utama yang dilewati keluarga keraton namun terlarang bagi masyarakat biasa yaitu Pintu Pasujudan, Pintu Kandok, Pintu Pandan, Pintu Soko, Pintu Kaca, Pintu Bacem, dan Pintu Gusti. Sedangkan bagi masyarakat biasa hanya diperbolehkan memasuki areal pemakaman hanya sampai di Pintu Pasujudan atau lebih dikenal dengan sebutan Lawang Gede.

Humas Keraton Kanoman, Arief Rahman menerangkan keluarga kesultanan Keraton Kanoman tersebut akan melakukan doa bersama, tahlilan dan dzikir di komplek pemakaman Sunan Gunung Jati tersebut atau yang lebih dikenal dengan nama Gedong Djinem.

"Keluarga keraton akan melakukan tujuh kali doa bersama, tahlil dan dzikir di tujuh areal pemakaman mulai dari makam Sunun Gunung Jati hingga komplek makam cicit Sunan Gunung Jati yang menjadi raja kanoman generasi kedua. Semuanya dilakukan menghadap kiblat dan akan diakhiri dengan tutup doa menghadap Pintu Pasujudan sekaligus penutupan kembali pintu tersebut atas ijin Sultan, ujar Arief.

Selama keluarga Sultan Kanoman beserta kerabat menjalankan doa bersama, para peziarah diperbolehkan melakukan kegiatan serupa namun hingga sebatas Lawang Gede dan areal pemakaman di sekitarnya serta diperkenankan untuk melakukan sawer (melemparkan uang dan bunga) ke arah Lawang Gede.

Setelah melakukan tahlil dan doa penutup didepan Pintu Pasujudan, Sultan dan kerabat beristirahat bersama di Pesanggrahan sambil menikmati hidangan yang telah disediakan oleh para kemit (penjaga makam). Sambil beristirahat, Sultan bersama kerabat melakukan Surak atau membagikan uang logam dengan cara dilemparkan ke arah kerumunan peziarah.

"Tujuan dari tradisi ini adalah sebagai ungkapan ras syukur Keraton Kanoman telah menyelesaikan ibadah puasa selama satu bulan dan disempurnakan dengan puasa sunnah selama satu tujuh hari sesuai anjuran Rasul,"

Gerebeg Ageng merupakan acara rutin yang digelar Keraton Kanoman Cirebon, meskpin kegiatan tidak seramai acara Gerebeg Syawal yang kerap digelar sepeken setelah Idul Fitri, namun acara Gerebeg Ageng berjalan khidmat dan di ikuti ratusan warga dari berbagai daerah.

Berdasarkan informasi, prosesi Gerebeg Ageng yang langsung dipimpin Sultan Kanoman, Pangeran Raja Muhamad Emirudin turut diikuti seluruh keluarga keraton. Dalam kesempatan itu juga turut hadir Pangeran Patih Qodirun didampingi para kerabat keraton.

Seperti halnya Gerebeg Syawal, prosesi Gerebeg Ageng dilakukan sejak pagi sekitar pukul 06.30 WIB. Sultan Kanoman dan dan Pangeran Patih Qodirun tampak mengenakan jubah emas yang kerap digunakan dalam setiap acara-acara tradisi keraton.

Setelah sultan dan kerabat masuk kedalam Komplek Astana Gunung Jati, prosesi diawali dengan salat Idul Adha bersama di Masjid Sunan Gunung Jati yang berada tepat di tengah-tengah area makam. Setelah melakukan salat bersama, sultan bersilaturahmi dengan kerabat keraton.

Sementara itu, masyarakat umum yang memenuhi masjid serta pelataran makam Gunung Jati, diberikan kesempatan untuk langsung bersilaturahmi dengan sultan dan kerabat. Dalam acara ini, tampak warga berebut menyalami.

Prosesi silaturahmi dengan sultan ini, merupakan momentum yang dianggap penting bagi para pengunjung. Pasalnya, mereka dapat langsung menyalami, atau sekadar mencium tangan sultan yang diyakini bakal mendatangkan berkah.

Setelah bersalaman dengan masyarakat, lantas sultan dan keluarga menuju kompleks pemakamanan Gunung Jati guna melakukan ziarah. Selanjutnya, sultan membuka pintu pasujudan yang merupakan gerbang utama menuju makam Sunan Gunung Jati.

Pintu pasujudan ini, hanya dibuka dua kali dalam setahun yakni pada saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Tepat di depan pintu tersebut, sultan dan keluarga melakukan doa bersama yang diikut warga yang berderet di bagian belakang.

"Kegiatan Gerebeg Ageng ini, merupakan salah satu acara yang dimaknai sebagai upaya untuk mengikat tali silaturahmi antara keluarg keraton dan masyarakat umum," tutur juru bicara keraton Kanoman Pangeran Arif Rahman usai acara berlangsung.

Dalam kesempatan itu Arif menegaskan, kegiatan ini juga digelar guna mengingatkan masyarakat yang kerap berziarah ke makam Sunan Gunung Jati agar tidak terjebak ke arah musyrik. Hal itu, dicontoh keluarga keraton dengan melakukan tahlil, doa bersama dan salat sunah tanpa ada kegiatan lain yang mengarah kepada kemusyrikan.

Panjang Jimat dan Babad Cirebon


Sebuah ritual panjang tengah dilaksanakan di sini. Di Kraton Kanoman. Ritual itu adalah peringatan Maulud atau kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang diwarnai tradisi setempat. Dengan acara puncak, Panjang Jimat. Banyak yang percaya, mereka yang ikut prosesi Panjang Jimat, niscaya mendapat berkah yang Maha Kuasa.

Pagi hari di Keraton Kanoman. Seekor kerbau besar telah dipotong dini hari tadi. Alun-alun kraton sebagian besar sudah dipadati pedagang. Padahal di tengah alun-alun inilah, sang kepala kerbau akan dikubur. Meskipun padat oleh masyarakat yang ingin melihat dari dekat prosesi ini, namun tak mengurangi rasa hikmat Panca Pitu, sebutan bagi para abdi dalem ini.

Kepala kerbau yang terbungkus kain putih, dibacakan doa memohon restu Ilahi agar perhelatan akbar yang akan dilangsungkan di keraton ini berjalan baik. Para wanita bangsawan Keraton Kanoman juga masih sibuk dengan kegiatan membuat boreh, yakni semacam rempah-rempah yang terbuat dari kayu cendana, garu, dan kayu-kayu wangi lainnya.

Boreh biasanya digunakan untuk bayi, atau wanita yang baru melahirkan, sebagai penghangat badan. Penggunaan boreh dalam acara ini, berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Setelah siap, boreh-boreh ini diletakkan dalam cangkir kecil. Jumlahnya hingga 40 cangkir. Banyak pengunjung yang meminta boreh ini setelah acara usai, karena mereka percaya boreh dalam perhelatan ini bukan sekedar boreh biasa.

Ini memang bukan sembarang boreh. Karena tidak sembarang orang bisa membuatnya. Selain perlu ketekunan, juga ada kriteria khusus. Sejak tradisi ini berlangsung, ketentuan itu belum pernah dilanggar. Itulah tampaknya yang membuat boreh punya khasiat istimewa.

Selepas tengah hari, abdi dalem mengeluarkan barang-barang pusaka peninggalan pendiri Keraton Kanoman. Diantaranya ada piring besar dengan hiasan berukir, berdiameter 50 centimeter.

Biasa disebut dengan The Ceramic of Empire. Selain itu terdapat beberapa bejana dari Persia dan Cina, juga tongkat dari perunggu yang konon berisi kulit naga yang pernah mengabdikan diri pada penguasa Keraton Kanoman.

Berbagai barang pusaka ini dicuci para wanita bangsawan Keraton Kanoman. Sambil mencuci, dalam hati mereka membaca shalawat, untuk memanjatkan pujian kepada Yang Maha Kuasa.

Prosesi pembersihan barang pusaka ini hanya dilakukan setahun sekali. Dengan sikap penuh hormat dan hati-hati, benda-benda pusaka ini disimpan kembali oleh para abdi dalem. Siap diarak dalam kirab Panjang Jimat nanti.

Uang Dalam Daun Pisang
Kharisma Kesultanan Keraton Kanoman, juga legenda kedigdayaan pendiri keraton ini, memunculkan banyak cerita akan adanya kekuatan supranatural di lingkungan keraton. Hingga kini masih ada masyarakat yang berharap akan mendapat limpahan berkah saat menghadiri acara-acara yang digelar pihak keraton.

Padahal, tujuan pihak kraton mengadakan sejumlah acara itu sebenarnya lebih untuk melestarikan tradisi yang ada, agar budaya Cirebon tidak punah begitu saja.

Meskipun persepsi masyarakat di luar lingkungan keraton berbeda dengan tujuan semula dari penyelenggaraan perhelatan ini, namun pihak keraton tidak melakukan pelarangan secara tegas. Karena mereka menghormati apa yang telah dipercayai oleh masyarakat awam secara turun temurun. Namun untuk ke depan, pihak keraton berharap persepsi itu akan berubah.

Di beranda Gedong Dalem yang menjadi kediaman Sultan Kanoman, para perempuan bangsawan keraton mengemas keping-keping uang logam untuk dimasukkan ke dalam daun pisang. Kegiatan ini disebut mungkus salawat.

Uang ini berasal dari donatur yang bersimpati pada Keraton Kanoman. Nantinya, uang yang terbungkus daun pisang ini akan dibagi-bagikan.

Ketika pagi tiba, mendekati puncak peringatan Maulid Nabi, kesibukan semakin meningkat. Begitu pula dengan masyarakat yang berdatangan dari berbagai tempat di sekitar Cirebon, maupun daerah lain yang pernah masuk dalam wilayah Kesultanan Cirebon.

Semua memenuhi berbagai sudut Keraton Kanoman. Petang menjelang puncak acara Panjang Jimat, Pangeran Patih, Pangeran Raja Muhammad Qodiran, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan seluruh rangkaian acara ini memimpin arak-arakan menuju Masjid Agung Keraton.

Para pengawal keraton, atau magersari mengawal dengan membawa tombak iring-iringan yang membawa aneka benda pusaka. Simbol Keraton Kanoman, bendera Macan Ali, yang berisi kalimat dengan arti Tiada Tuhan Selain Allah, mengawali iring-iringan ini. Busana warna kuning yang dipakai para abdi dalem, bermakna Ar-Rahhim, atau Maha Penyayang.

Akhirnya Panjang Jimat
Menjelang malam, suasana di Keraton Kanoman semakin semarak. Para undangan dan keluarga keraton mulai berdatangan untuk menghadiri puncak acara yang hanya berlangsung satu tahun sekali ini.

Sebelum puncak acara dimulai, di Bangsal Jinem yang merupakan salah satu ruang utama di Keraton Kanoman, Pangeran Patih meminta restu dari Sultan Kanoman ke-12 yang juga adalah kakak kandungnya. Dalam prosesi ini, Pangeran Patih mewakili sultan. Selama prosesi berlangsung, Pangeran Patih tidak diperbolehkan untuk berbicara sepatah kata.

Sementara di langgar keraton, penghulu dan abdi dalem lainnya bersiap-siap menuju Masjid Agung Keraton. Tepat pukul 9 malam, seorang anggota keluarga keraton membunyikan lonceng Gajah Mungkur, tanda acara Panjang Jimat dimulai. Seiring lafadz doa yang diucapkan para peserta kirab Panjang Jimat, rombongan yang mengusung aneka pusaka keraton ini menuju Masjid Agung Keraton Kanoman.

Kirab atau iring-iringan Panjang Jimat ini adalah sebuah ilustrasi mengenai kelahiran Nabi Muhammad SAW. Masing-masing barisan ini punya makna tersendiri. Namun kesemuanya bermuara pada perlambang kelahiran seorang manusia.

Didalam Masjid Agung Keraton yang dibangun pada sekitar tahun 1679, Pangeran Patih dan seluruh peserta kirab Panjang Jimat mendengarkan tarikh, atau riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang dibaca penghulu keraton.

Hal ini bertujuan agar mereka yang mendengarkan dapat menyerap kebajikan seperti yang pernah diperbuat oleh Nabi Muhammad SAW. Puncak acara berakhir menjelang tengah malam.

Keping-keping uang logam yang terbungkus daun pisang, diperebutkan oleh masyarakat yang berada di muka Masjid Agung. Mereka percaya koin yang telah diberi doa-doa itu akan membawa keberuntungan.

Sementara berbagai sesaji dibagikan untuk Sultan Kanoman dan keluarganya, serta kerabat keraton. Sisanya diberikan kepada para abdi dalem dan masyarakat luas.

Hari berganti, pusaka telah tersimpan rapi. Pangeran Patih menutup seluruh prosesi ini. Inilah buang takhir. Dengan diiringi para abdi dalem dan pembesar keraton, di Bangsal Paseban, bersama mereka mengucap doa syukur atas usainya perhelatan akbar.

Nasi jimat pun dibagikan kepada warga yang telah menanti. Hingga kini masih banyak yang mempercayai adanya sugesti yang timbul setelah menyantap nasi jimat ini.

Seiring dengan itu, gamelan sekaten berhenti dimainkan. Perangkat musik bersejarah ini dikemas untuk disimpan kembali ke tempatnya. Suasana semarak saat perhelatan itu telah berlalu, seperti kejayaan yang pernah dimilikinya. Namun toh, kepercayaan akan berkah kraton, tak sirna hingga kini.

Pembacaan Babad Cirebon

Pada 1 Muharam 1431 H atau 18 Desember 2009, saya diundang menghadiri acara pembacaan babad Cirebon di keraton Kanoman. Keraton Kanoman terletak agak tersembunyi, tertutup pasar yang memang berada persis di depan Keraton. Kanoman sendiri didirikan pada tahun 1588. Hal ini tercatat pada prasasti di pintu Pendopo Jinem. Pendiri Kanoman adalah Sultan Badridin atau biasa disebut Sultan Kanoman I. Badridin adalah turunan ke VII dari Sunan Gunung Jati atau Syarief Hidayatullah.

Acara Pembacaan babad yang dikaitkan dengan acara ulang tahun kota Cirebon yang ke 640 ini dihadiri antara lain oleh Walikota Cirebon Subardi S.Pd, Ketua DPRD Cirebon dan sejumlah petinggi kota Cirebon. Sri Sultan dan para tamu penting duduk di Witana, tempat pembacaan Babad Cirebon. Witana berasal dari kata awit dan ana yang berarti yang pertama ada. Disebut demikian karena Witana adalah bangunan pertama yang didirikan di kota Cirebon.

Acara dibuka oleh Sultan Kanoman XII, yaitu Sultan Raja Moch.Emirudin. Sultan yang konon mengidap sakit polio sejak kecil ini memberi sambutan amat pendek. Sesudahnya Walikota juga memberikan sambutannya. Selanjutnya pembacaan babad Cirebon dilakukan oleh Pangeran Kumisi Kesultanan Kanoman diiringi Panca Pitu (tujuh pengiring berjubah dan bersorban) dan sepuluh pria berpakaian gelap dan berblankon. Adapun babad Cirebon dibacakan dalam bahasa Cirebonan.

Selesai pembacaan babad Cirebon, acara dilanjutkan dengan arak-arakan. Sri Sultan Kanoman XII menaiki kereta Singa Barong yang diangkat puluhan ponggawa. Di barisan paling depan adalah para pengawal dengan pakaian serba hitam. Sebagian pengawal membawa tameng dan pedang terhunus, sebagian lagi membawa obor menyala. Sementara rakyat jelata mengikuti dengan tertib dari belakang. Prosesi dilakukan di sekitar jalan Kanoman.
Peringatan malam 1 suro yang digelar keluarga dan kerabat Keraton Kanoman, dimulai dengan ziarah ke Makam Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon.

Serasa kembali ke masa kerajaan dulu, dengan menaiki replika kereta Paksi Nagaliman (kereta yang kerap di gunakan Sunan Gunung Jati pada masa kejayaannya), Pangeran Raja Muhammad Emiruddin, diiringi para kerabat, keluarga, serta para abdi keraton yang mengawal dengan berjalan kaki mengarak kereta ke area pemakanan Sunan Gunung Jati.

”Tahun-tahun sebelumnya, memang tidak ada kegiatan ziarah kemakam Gunung Jati. Namun, pada tahun ini, kami mencoba mengembalikan tradisi yang pernah dilakukan pada leluhur kami,”papar juru bicara keraton Kanoman, Ratu Arimbi saat ditemui disela kegiatan.

Menurut Arimbi, ziarah dimaksudkan untuk doa bersama agar seluruh penerus keluarga Keraton di berikan keselamatan pada tahun mendatang. Tak lupa, dalam prosesi ini juga turut mendoakan keselamatan negara dari berbagai bencana dan cobaan.

Sebelum berziarah, Keraton menggelar pembacaan Babad Cirebon. Prosesi ini dilakukan Pangeran Kumisi atau seorang pejabat berpangkat satu tingkat dibawah Patih didampingi tujuh orang Panca Pitu (abdi dalem keraton yang selalu mengiringi setiap ritual) serta tujuh orang penghulu Masjid Agung Kasepuhan.

Beberapa tahun lalu, pembacaan Babad Cirebon kerap di gelar di Bangsal Witana yang berada di bagian belakang keraton. Konon, bangsal ini merupakan bangunan pertama yang berdiri di Cirebon. Namun, lima tahun ini pembacaan babad Cirebon di gelar di bagian tengah keraton yakni di Bangsal Made Mastaka yang dulu dijadikan sebagai singasana raja.

”Pembacaan babad Cirebon dialihkan ke Bangsal Made Mastaka sekitar 4 tahun lalu. Ini dilakukan setelah pemerintah kota Cirebon mengikuti kegiatan ini yang bertepatan dengan ulang tahun kota Cirebon,”papar Arimbi.

Prosesi pembacaan Babad Cirebon, terasa sakral saat pangeran kumisi memasuki Bangsal Made Mastaka. Dengan didampingi tujuh orang Panca Pitu dan tujuh orang penghulu Masjid Agung Kasepuhan, yang membawa empat lilin besar sebagai penerang prosesi pembacaan.

Prosesi ini pun dihadiri seluruh Muspida Kota Cirebon, serta para tamu undangan, dan ratusan masyarakat Cirebon yang sengaja ingin menyaksikan prosesi pembacaab Babad.

Babad Cirebon dikutip dari kitab Purwaka Caruban Nagari yang ditulis Wangsa Kerta pada tahun 1669. Kitab berbahasa Cirebon kuno ini, menceritakan tentang asal-usul Cirebon dan kisah pendiri Keraton Kanoman dan sedikit menyinggung keberadaan Keraton Kasepuhan, Kacirebon dan Keprabonan.

Pangeran Walangsungsang dan Ratu Mas Rarasantang yang merupakan putra-putri Prabu Siliwangi, bermaksud ingin mempelajari agama islam. Pengembaraan keduanya hingga masuk ke Pesisir utara pulau Jawa. Mereka menemui sejumlah ulama islam. Kisah perjalanan paman dan ibu Sunan Gunung Jati hingga membuka sebuah padepokan bernama Caruban atau Cirebon, menjadi pokok cerita dalam tradisi pembacaan babad Cirebon ini.

Kereta Kencana Paksi Naga Liman




Kereta kencana Paksi Naga Liman adalah kereta kencana milik Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat. Dulu, kereta ini digunakan raja Keraton Kanoman untuk menghadiri upacara kebesaran. Selain itu, kereta ini juga digunakan untuk kirab pengantin keluarga Sultan Kanoman. Kereta tersebut diperkirakan dibuat tahun 1608 berdasarkan angka Jawa 1530 pada leher badan kereta yang merupakan angka tahun Saka. Sejak tahun 1930, kereta ini tidak digunakan dan disimpan di museum Keraton Kanoman; sedangkan yang sering dipakai pada perayaan-perayaan merupakan kereta tiruannya.
Kereta ini berukuran panjang 3 meter, lebar 1,5 meter, dan tinggi 2,6 meter dan ditarik oleh enam ekor kuda. Badan kereta terbagi dua bagian, yakni bagian atas dari kayu sebagai tempat duduk penumpang dan bagian bawah dari besi berupa rangkaian empat roda kereta. Bagian atas kereta berbentuk perpaduan tiga hewan seperti namanya, yakni burung garuda (paksi), ular naga (naga), dan gajah (liman), yang berarti melambangkan kekuatan udara, laut dan darat. Tempat duduk penumpang berbentuk badan gajah yang kakinya dilipat, berekor naga, bersayap garuda, dan berkepala perpaduan antara naga dan gajah. Di bagian kepala, wajah gajah berbelalai mencuat ke atas memegang trisula dan tombak

Sejarah Kanoman

Kraton Kanoman yang di bangun pada tahun 1588 oleh Sultan Badaruddin yang memisahkan diri dari Kesultanan utama Cirebon karena berbeda pendapat dengan saudaranya mengenai siapa yang berhak menjadi ahli waris Kesultanan Cirebon.

Sebagaimana umumnya Kraton di Jawa, Bangunan Kraton Kanoman seluruhnya menghadap ke utara. Di luar bangunan Kraton terdapat sebuah bangunan bergaya bali yang disebut dengan Balai Manguntur yang terbuat dari Batu merah. Di dekat bangunan Balai Maguntur ini terdapat sebuah pohon beringin yang berukuran besar. Fungsi bangunan ini adalah tempat kedudukan Sultan apabila menghadiri Upacara seperti apel prajurit atau menyaksikan pemukulan gamelan Sekaten pada tanggal 8 Maulid dan lain-lain. Ada juga masyarakat yang mengatakan bahwa Balai Maguntur diartikan sebagai Balai mangunn tutur yang artinya tempat sultan berpidato atau berbicara kepada masyarakat tentang hukum dan agama.

Setelah melewati patung berbentuk naga, pengunjung akan sampai di bangunan Kraton Kanoman, sebuah istana yang lebih kecil ukurannya dari pada Kraton Kasepuhan. Kraton Kanoman mempunyai pendopo dengan sebuah altar didalamnya, disini terdapat koleksi piring-piring antik dari Eropa.

Kraton Kanoman juga mempunyai museum dengan pintu-pintunya yang berukir, koleksi terpenting museum ini adalah Kereta Perang Paksi Naga Liman dan Kereta Jempana dengan bentuk mirip seperti kereta pada Kraton Kasepuhan, Kereta yang terdapat di Krataon Kanoman ini di klaim sebagai yang kereta yang lebih tua. Bahkan kerata yang disebut-sebut merupakan duplikat dari kereta yang terdapat di Keraton Kanoman. Koleksi museum lainnya adalah aneka senjata seperti keris dan tombak, gamelan dan lain-lain.
Museum yang terdapat di Kraton Kanoman ini tidak memiliki jadwal kunjungan yang teratur. Pengunjung yang datang kesini harus melapor dan mengisi buku tamu dan pemandu akan membukakan pintu museum dan menemani pengunjung berjalan mengelilingi museum. Selesai mengunjungi Kraton Kanoman ada baiknya anda melihat-lihat Pasar Kanoman yang terletak persis di depan Kraton.

Pada komplek Keraton Kanoman inilah pertama kali dibangun sebuah bangunan kerajaan sebelum pindah ke Pakungwati 1 di lokasi Keraton Kasepuhan, bangunan tersebut merupakan bangunan tertua di Cirebon. Komplek Keraton ini terpencil keberadaannya di tengah Kota Cirebon, tertutup oleh bangunan Pasar Kanoman di bagian utara, ruko-ruko di sepanjang jalan Lemahwungkuk yang terleta di sebalah timur Keraton Kanoman, dan bangunan perumahan permukiman di sebelah selatan dan baratnya. Bangunan Keraton nyaris tenggelam diantara bangunan-bangunan yang mengelilinginya. Padahal sebagai potensi sebuah kota, keraton ini sebaiknya mudah dijangkau oleh setiap warga kota dan wisatawan.

Seperti di Keraton Kasepuhan, alun-alun keraton yang seharusnya menjadi ruang publik yang terbuka sebagai tempat aktivitas warga saat ini kurang berfungsi secara optimal sebagai ruang publik. Alun-alun ini lebih terlihat sebagai ruang perluasan Pasar Kanoman, dibandingkan sebagai ruang depan Keraton Kanoman, kondisi yang harus segera diperbaiki dan dikembangkan fungsinya. Namun demikian pada acara-acara tradisi tertentu lapangan ini akan berubah menjadi lautan orang yang membludak ingin mengikuti tradisi seperti Muludan dan acara-acara tradisi lainnya.

Komplek Keraton Kanoman sendiri memiliki ruang yang cukup menarik sebagai tempat wisata, dengan pohon-pohon beringin yang rimbun serta taman-taman keraton yang dikelilingi benteng bata menjadi sebuah oase yang sejuk di tengah Kota Cirebon yang cukup panas. Apalagi sambil menikmati tahu gejrot yang pedas dan segar. Maknyuss. Dan lebih daripada itu, (lagi) bagian sejarah yang menyambung dari sejarah Kesultanan Kasepuhan bisa diketahui dari Keraton ini.

SEBUAH pendopo dikelilingi tembok bercat putih, tak terawat. Salah satu sisi gapuranya hanya menunjukkan bekas porselen dari Tiongkok yang pernah ditanamkan di temboknya. Belum lagi coretan dinding yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab ditambah rerumputan tumbuh meninggi di beberapa tempat di halaman. Demikianlah pemandangan yang terlihat begitu menginjakkan kaki di depan gerbang sebuang keraton.

Itu hanya sebagian gambaran dari Keraton Kanoman yang ada di Kota Cirebon. Kondisi kurang baik ini diperparah dengan lokasi yang berada di balik keramaian Pasar Kanoman. Untuk menuju ke keraton, baik mobil maupun becak harus menerobos kerumunan para pedagang.

Tak terbayangkan bahwa tempat itu menyimpan sejarah panjang tentang kepahlawanan, juga syiar Islam, jika tidak menatap baik-baik bangunan utama. Memang tidak sebesar bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta atau Surakarta tetapi masih memancarkan kharisma tersendiri.

Rasa penasaran menggiring langkah merambahi halamannya yang teduh. Jika lebih teliti mengamati, maka akan tampak keistimewaan pagar maupun pintu gerbangnya yaitu berhiaskan piring-piring porselen yang cantik.

Beruntung, saat mengunjungi keraton itu, Warta Kota bertemu dengan putra kelima dari almarhum Sultan Kanoman XI, yaitu Pangeran Raja Mohamad Qodiran yang menjabat sebagai Pangeran Patih Kanoman.

Menurut Mohamad Qodiran, Kesultanan Kanoman ini awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Cirebon. Namun Sultan Banten, Ki Ageung Tirtayasa, kemudian menobatkan dua pangeran dari Putra Panembahan Adining Kusuma (Kerajaan Mataram) untuk memegang kekuasaan di dua kesultanan. Yaitu Pangeran Badriddin Kartawijaya di Kesultanan Kanoman bergelar Sultan Anom dan Pangeran Syamsuddin Martawijaya di Kesultanan Kesepuhan bergelar Sultan Sepuh.

Kesultanan Kanoman diresmikan tahun 1677. "Di antara keraton-keraton lain yang ada di Cirebon, seperti Keraton Kasepuhan dan Keraton Kacirebonan, hanya Keraton Kanoman yang menjadi pusat peradaban Kesultanan Cirebon," tuturnya.

Keraton ini juga dikenal lebih taat dan konservatif dalam memegang adat istiadat dan pepakem. Contohnya tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul Fitri . Grebeg Syawal intinya adalah ziarah sultan dan keluarganya ke Makam Sinuhun Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara.

Kebiasaan itu sangat berbeda dengan Keraton Kasepuhan, yang dalam sejarahnya masih saudara tua, dan Keraton Kacirebonan. Keraton yang disebut terakhir itu dikenal hanya mempunyai satu sultan atau sultan sepengadegan, yakni Sultan Carbon (abad 18) di mana anak cucu mereka, sesuai keputusan pengadilan Belanda ketika itu, ditetapkan tidak memiliki hak lagi sebagai sultan.

Koleksi museum
Daya tarik utama Keraton Kanoman baru bisa dinikmati ketika memasuki museum yang terletak di sisi kanan bangunan utama. Di bangunan yang tidak terlalu besar itu tersimpan peninggalan-peninggalan keraton, mulai dari kereta kerajaan, peralatan rumah tangga, hingga senjata kerajaan.

Menurut pengamatan Warta Kota, perawatan pada barang-barang tersebut kurang diperhatikan. Dibiarkan berdebu dan lembab sekian lama. Bahkan gedung museum tersebut sepertinya nyaris roboh karena di plafonnya banyak jejak-jejak air akibat bocor.

"Memang kami kekurangan dana dan tenaga untuk mengelola tempat ini. Tidak mungkin hanya mengandalkan dana dari pemerintah. Sebagai penerusnya, tentu kami berusaha untuk menjaganya," ungkap Mohamad Qodiran.

Beberapa koleksi tampak tidak utuh. Di jajaran kereta, paling menonjol adalah Kereta Paksi Naga Liman. Kereta itu, seperti tertera dalam keterangan, dibuat dari kayu sawo pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi oleh Pangeran Losari. Itu adalah kereta kebesaran Sunan Gunung Jati, leluhur Kesultanan Cirebon, yang memerintah 1479 -1568.

Pemberian nama itu berkaitan dengan pahatan kayu di bagian depan yang menggambarkan gabungan bentuk paksi (burung), naga, dan liman (gajah) memegang senjata. Paduan bentuk itu melambangkan persatuan tiga unsur kekuatan di darat, laut, udara dan menyimbolkan keutuhan wilayah.

Keistimewaannya terletak pada bagian sayap patung yang bisa membuka-menutup saat sedang berjalan, juga bentuk rodanya yang berbeda dengan roda pedati biasa. Roda kereta dibuat cekung ke dalam. konstruksi roda seperti itu sangat berguna jika melewati jalanan berlumpur yang basah. Kotoran tidak akan menciprat mengotori penumpangnya.

Kereta yang lain adalah Jempana, kereta kebesaran untuk permaisuri dengan hiasan bermotif batik Cirebon. Kereta berbahan kayu sawo itu juga dirancang dan dibuat atas arahan Pangeran Losari pada tahun yang sama.

Kereta-kereta itu menempati bagian tengah ruangan. Bagian pinggir museum dipenuhi koleksi yang lain. Di antaranya koleksi wayang golek papak, kursi pengantin, gamelan, meja tulis lengkap dengan perlengkapan menulis daun lontar dan ijuk aren yang berfungsi sebagai alat menulis, kotak-kotak termasuk kotak dari Mesir. Di salah satu sudut, bisa dilihat koleksi senjata, mulai dari aneka pedang lokal dan pedang Eropa, keris, senjata api, aneka perisai, dan meriam

Ada pula singgasana Sri Sultan yang terbuat dari gading, berusia lebih dari 700 tahun. Kursi ini dipakai pada awal pemerintahan Kesultanan Cirebon hingga periode Sri Sultan Kanoman VIII. Karena kondisi kursi yang tidak memungkinkan lagi untuk diduduki, maka mulai Sri Sultan Kanoman IX kursi tersebut dimuseumkan.

Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal sebagai Syarif Hidayatullah.

Sayangnya, orang jarang menengok keraton ini, bahkan di musim libur. Masalah klasik, seperti publikasi, promosi tentu jadi biang keladi. Jangankan urusan publikasi dan promosi, untuk urusan pemugaran saja pihak keraton sudah ngos-ngos-an. Perlu upaya kerja sama dengan pihak swasta yang didukung pemerintah, apalagi keraton tersebut adalah salah satu daya tarik Kota Cirebon

Keraton Kanoman


Keraton Kanoman didirikan oleh Sultan Kanoman I (Sultan Badridin) turunan ke VII dari Sunan Gunung Jati (Syarief Hidayatullah) pada tahun 510 tahun Saka atau tahun 1588 Masehi, Adapun prasasti tahun berdirinya Keraton Kanoman terdapat pada pintu Pandopa Jinem yang menuju keruangan Perbayaksa, dipintu tersebut terpahat gambar angka Surya Sangkala & Chandra Sangkala dengan pengertian sebagai berikut : * Matahari artinya angka 1 (satu)
* Wayang Darma Kusumah artinya angka 5 (lima)
* Bumi artinya angka 1 (satu)
* Bintang Kemangmang artinya angka 0 (nol)
Jadi terbaca tahun 1510 Saka atau tahun 1588 Masehi. Lambang angka tahun terdiri dari 2 macam yaitu Surya Sangkala dengan gambar matahari dan Chandra Sangkala dengan gambar Bulan.
SILSILAH PARA SULTAN KANOMAN
1. Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah
2. Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin
3. Panembahan Sedang Kemuning
4. Panembahan Ratu Cirebon
5. Panembahan Mande Gayem
6. Panembahan Girilaya
7. Para Sultan :
1. Sultan Kanoman I (Sultan Badridin)
2. Sultan Kanoman II ( Sultan Muhamamad Chadirudin)
3. Sultan Kanoman III (Sultan Muhamamad Alimudin)
4. Sultan Kanoman IV (Sultan Muhamamad Chadirudin)
5. Sultan Kanoman V (Sultan Muhamamad Imammudin)
6. Sultan Kanoman VI (Sultan Muhamamad Kamaroedin I)
7. Sultan Kanoman VII (Sultan Muhamamad Kamaroedin )
8. Sultan Kanoman VIII (Sultan Muhamamad Dulkarnaen)
9. Sultan Kanoman IX (Sultan Muhamamad Nurbuat)
10. Sultan Kanoman X (Sultan Muhamamad Nurus)
11. Sultan Kanoman XI (Sultan Muhamamad Jalalludin)
12. Sultan Kanoman XII ( Sultan Muhammad Emirrudin) sultan sekarang yang syah.
Keprabonan
Keprabonan termasuk keluarga Keraton Kanoman yang didirikan pada tanggal 1682 oleh Pangeran Raja Adipati Kapronan. Kaprabonan asal kata dari Kaprabuan (Raja) yang mana Kaprabonan ini berfungsi sebagai tempat DINNIYAH, yaitu tempat kegiatan Agama Islam yang diberlakukan untuk komunitas Keraton Kanoman dan juga untuk masyarakat umum. Sampai dengan sekarang kegiatan tersebut masih berjalan dan banyak dikunjungi orang termasuk pengunjung dari Malaysia dan Brunei.
Adapun Pangeran Raja Adipati Kaprabonan, adalah putra sulung dari sultan Kanoman I, yang lebih memilih kepeduliannya terhadap bidang agama ketimbang ke pemerintahan. Tempat ini sampai sekarang dihuni oleh keluarga keturunan Adipati Kaprabonan yang letaknya berdekatan dengan Keraton Kanoman.
Keraton Kanoman adalah pusat peradaban Kesultanan Cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon. Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dari Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah orang yang bertanggung Jawab menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, sehingga berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati juga meninggalkan jejaknya yang hingga kini masih berdiri tegak, jejak itu bernama Kraton Kanoman. Keraton Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal,seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara. Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah.
Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektar ini berlokasi di belakang pasar Di Kraton ini tinggal sultan ke dua belas yang bernama raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga. Kraton Kanoman merupakan komplek yang luas, yang terdiri dari dua puluh tujuh bangunan kuno. salah satunya saung yang bernama bangsal witana yang merupakan cikal bakal Kraton yang luasnya hampir lima kali lapangan sepakbola.
Di keraton ini masih terdapat barang barang Sunan Gunung Jati, seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat baik dan tersimpan di museum. Bentuknya burak, yakni hewan yang dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi'raj. Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di bagian tengah Kraton terdapat komplek bangunan bangunan bernama Siti Hinggil.
Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Dan yang tidak kalah penting dari Keraton di Cirebon adalah keraton selalu menghadap ke utara. Dan di halamannya ada patung macan sebagai lambang Prabu Siliwangi. Di depan keraton selalu ada alun alun untuk rakyat berkumpul dan pasar sebagai pusat perekonomian, di sebelah timur keraton selalu ada masjid.